Monday, September 27, 2010

balada gita bergema

seorang lelaki tua peyot rapuh dan lusuh bersandar ditiang listrik

tulang-tulangnya mencuat dan kering kerontang terlihat dati kulitnya yang bergelambir

menandakan bahwa jasadnya sudah termakan umur




topi rotan yang bolong disana-sini menutupi raut mukanya

baunya yang busuk menyengat membuat para lalat-lalat kecil bersorak riang

terlihatlah senyum pahit tersungging di bibirnya yang pecah-pecah




segala anjing menggonggong pun membisu

taringnya berkata tentang ketidakpedulianku

tak diriku tak juga kau





laki-laki itu mengernyit dan memicingkan mata

mentari siang telah mengalahkan kepekatan malam

segala tubuh reyotnya terlihat jelas oleh sang mentari




lelaki tua itu berdiri dan membersihkan debu pada pantatnya

padahal, debu pun sudah memenuhi seluruh tubuhnya tanpa terkecuali

diambilnya keresek hitam dan kaleng minuman penyok di sebelah kirinya




segala bunga berayun pelan

durinya berkata tentang ketidakpedulianku

tak diriku tak juga kau




panas terik siang semakin menyemarakan pasar

pedagang menjajakan lalu pembeli menawarnya

beronggok-onggok daging ayam tergeletak dan dikerumuni lalat riang

sayurnya pun lesu dan layu karena tak laku-laku



orang-orang berlalu lalang dari satu ke yang lain

lelaki tua itu hanya memandang dari kejauhan

cacing diperutnya sudah kering kerontang seperti dirinya karena tak makan 5 hari

tak jauh berbeda dengan keadaan si lelaki tua itu



"bu, ada sisa buat saya?" si tua bertanya

ibu penjaga warung mengernyit jijik

baunya menyengat hidung si ibu

"nggak ada. pergi sana! nanti warungku ikut busuk gara-gara ada kamu!" cecar si ibu

dengan lunglai si tua beranjak pergi

tak kuat lagi menahan lapar yang teramat menyiksanya beberapa hari ini

hanya ada keresek hitam berisikan koran tempat ia beralaskan tidur dan kaleng penyok yang menemani



mukanya pucat, bibirnya pucat, tubuhnya pun ikut-ikutan pucat

mendongak ia ke atas

sambil memejamkan mata ia berkomat-kamit

tak kuat lagi ia robohkan badannya yang lusuh dan kering di sudut pasar

bau sampah menusuk keluar dari tempat sampah samping kirinya

perut kerempeng, tenggorokan kering, bibir pucat


dipejamkan matanya mengenang masa lalu dan hari-harinya

doa ia panjatkan pada yang kuasa

lunglai ia bersandar disana, disudut, dipojok terkumuh pasar



segala malaikat tersenyum padanya

nyanyiannya bergema tentang kerapuhan si tua

walau pahit hidupnya tak ditemui keluh dan duka



segala warga berbisik keesokannya

mengeluh tentang hal baru yang harus mereka laporkan pada aparat setempat

diwajah mereka tersirat berbagai emosi

bukan emosi iba taka ada rasa iba disana

marah mereka rasakan karena harus mengurus si lelaki tua


ya, laki-laki tua dengan keresek hitamnya dan kaleng penyok ditangannya

juga dengan ketiadaannya dari dunia yang fana ini

tentang kematiannya dan juga seulas senyum yang tesungging dibibirnya



angin bertiup pelan di keramaian pasar

kesunyiannya berbicara tentang ketidakpedulianku

tak diriku tak juga kau


***

No comments: